oleh

Menunggu Peran Wakil Rakyat: Jeritan Para Guru Honorer di Tubaba

Tulang Bawang Barat–“Pahlawan tanpa tanda jasa” itulah julukan yang kerap disematkan kepada para guru. Namun di Kabupaten Tulang Bawang Barat (Tubaba), gelar itu seakan hanya menjadi hiasan retoris belaka. Ratusan guru honorer khususnya mereka yang tergabung dalam Pengajar Profesi Guru Non ASN harus kembali menelan pil pahit.

 

Tunjangan Profesi Guru (TPG) yang mereka nanti-nantikan hingga pertengahan Juli 2025 tak kunjung cair. Sebuah pengabaian yang mencederai akal sehat dan keadilan sosial.

 

Menurut laporan ragamnews pada 16 Juli 2025, hampir seluruh kabupaten/kota di Provinsi Lampung telah menyalurkan TPG kepada guru-guru honorer. Sepertinya hanya di Tubaba yang tertinggal tanpa kepastian dan tanpa kejelasan. Ini bukan lagi sekadar masalah administratif. Ini adalah soal keberpihakan.

 

Harus diingat bahwa Tunjangan Profesi Guru (TPG) bukan hadiah apalagi belas kasihan. Tunjangan Profesi Guru (TPG) adalah amanat undang-undang. Ini yang harus dipahami.

 

Ini mengacu Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen serta Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2009 mengatur dengan jelas bahwa guru yang telah memenuhi syarat berhak atas tunjangan profesi.

 

Dana Tunjangan Profesi Guru (TPG) berasal dari APBN dan disalurkan melalui mekanisme transfer daerah. Tugas Pemerintah Daerah melalui Dinas Pendidikan hanyalah memastikan bahwa data pengusulan, verifikasi, dan penginputan dilakukan secara akurat dan tepat waktu.

 

Jika TPG belum juga cair maka patut dipertanyakan. Apakah Dinas Pendidikan Tubaba lalai dalam proses pengusulan? Ataukah ada unsur ketidaksungguhan dalam menyelesaikan birokrasi yang semestinya sudah rutin dilakukan setiap tahun?

 

Para guru honorer di Tubaba bukan hanya jumlah statistik. Mereka adalah wajah pendidikan serta ujung tombak pencerdas generasi bangsa. Dengan honor yang jauh dari kata layak yang kadang hanya Rp500.000 per bulan. Mereka tetap berdiri di depan kelas, mengabdi tanpa jaminan dan kepastian.

 

Bayangkan dari informasi yang beredar lebih dari 100 guru honorer non-ASN telah mengikuti proses sertifikasi dan berhak menerima TPG. Namun hingga kini mereka justru menjadi korban dari buruknya manajemen dan lemahnya perhatian birokrasi daerah.

 

Persoalan ini tidak bisa semata-mata dianggap urusan teknis Dinas Pendidikan. Di sinilah peran wakil rakyat Kabupaten Tulang Bawang Barat sangat dinantikan. Sudah saatnya DPRD khususnya Komisi yang membidangi pendidikan segera turun tangan. Bukan hanya duduk manis di ruang rapat atau sekadar menyampaikan pernyataan normatif.

 

Wakil rakyat harus mengintervensi dengan serius dengan memanggil Dinas Pendidikan, mengevaluasi alur administrasi pencairan TPG dan bahkan jika perlu membentuk tim khusus. Persoalan ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut karena menyangkut hak dasar para guru.

 

Jika tidak ada keberanian politik dari legislatif maka apa gunanya lembaga perwakilan? Ketika rakyat kecil menjerit dan wakilnya diam maka fungsi dan tugas sebagai wakil rakyat akan kehilangan rohnya.

 

Kasus TPG ini hanyalah satu dari sekian banyak cerminan buruknya manajemen birokrasi daerah yang abai terhadap hak-hak pekerja sektor publik. Pendidikan adalah sektor strategis dan keberlanjutan mutu pendidikan daerah sangat bergantung pada semangat dan kesejahteraan gurunya.

 

Jangan sampai jeritan para guru hanya menjadi gema sunyi yang tak digubris oleh kekuasaan. Pemerintah daerah harus segera mengklarifikasi dan memastikan bahwa hak para guru honorer dibayarkan penuh dan tidak dipersulit oleh teknis administratif.(R).

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed